Sedikit di antara kita yang mengetahui bentuk jual beli yang terlarang.
Di antara yang terlarang adalah melakukan jual beli di lingkungan
masjid, menjual buku atau kaset keagamaan di lingkungan tersebut karena
hadits yang melarang hal ini. Begitu pula jual beli setelah adzan kedua
shalat Jum'at termasuk jual beli yang terlarang. Secara zat, jual beli
di atas tidak terlarang, namun terlarang karena ada sebab lain. Bahasan
kali ini adalah bahasan terakhir dari bentuk jual beli terlarang.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli
dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah
dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika
azan Jum’at berarti haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hambali.
Kapan Dimulai Larangan Jual Beli?
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, larangan dimulai saat
azan. Namun azan yang dimaksud apakah azan yang pertama ataukah kedua?
Di sini ada beda pendapat.
Perlu diketahui bahwa azan kedua sebelum shalat Jum’at adalah azan
yang diterapkan oleh khulafaur rosyidin. Sehingga tidak perlu diingkari.
Demikian nasehat guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah. Azan pertama di hari Jum’at ini ditambahkan di masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang khulafaur rosyidin. Terdapat dalam hadits As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ
النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى
الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ
عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ
الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ " قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ
مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dahulu azan pada hari Jum’at dilakukan di awal ketika imam di
mimbar. Ini dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun di masa ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu karena saking banyaknya jama’ah, beliau menambahkan azan sampai
tiga kali di Zawro’.” Abu ‘Abdillah berkata, “Zawro’ adalah salah satu
tempat di pasar di Madinah.” (HR. Bukhari no. 912).
Yang dimaksudkan azan sampai tiga kali di sini adalah karena di saat
shalat Jum’at ada tiga kali azan. Azan pertama yang ditambahkan di masa
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Azan kedua adalah azan ketika khutbah. Azan
ketiga adalah ketika iqomah. Iqomah disebut pula azan sebagaimana
terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal Al Muzani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Di antara dua azan terdapat shalat (sunnah)” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838).
Jumhur ulama berpendapat bahwa azan mulai terlarangnya jual beli adalah azan kedua. Karena di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya ada sekali azan, yaitu saat imam duduk di mimbar. Adzan kedua
inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah pada surat Jumu’ah di atas.
Jika jual beli dilakukan pada saat azan kedua ini akan melalaikan para
pembeli dan pedagang dari shalat, bahkan bisa sampai luput seluruh atau
sebagiannya.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2: 145) berkata, “Azan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah azan setelah imam duduk di mimbar. Maka hukum dikaitkan dengan
azan kedua tersebut, sama saja apakah azan tersebut sebelum atau sesudah
zawal (matahari tergelincir ke barat).”
Siapa yang Tercakup dalam Larangan Jual Beli?
Yang tercakup dalam larangan jual beli di sini adalah:
Pertama: Para pria yang diwajibkan shalat Jum’at. Sedangkan wanita,
anak kecil, dan orang sakit tidak terkena larangan jual beli tersebut.
Demikian pendapat jumhur ulama. Alasannya, karena perintah dalam ayat
ditujukan pada orang yang pergi Jum’at. Orang selain itu berati tidak
terkena larangan jual beli kala itu.
Kedua: Orang yang melakukannya tahu akan larangan melakukan jual beli
setelah azan kedua Jum’at. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah.
Ketiga: Yang melakukan jual beli bukan bermaksud untuk menghilangkan
mudhorot (bahaya) sehingga ia terpaksa melakukan jual beli seperti dalam
keadaan darurat harus beli makanan atau dalam keadaan darurat harus
beli kafan untuk mayit dan jika ditunda, kondisi mayit akan berubah.
Keempat: Jual beli dilakukan setelah azan Jum’at saat imam naik mimbar. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 225)
Catatan: Jumhur ulama bukan hanya melarang jual beli setelah azan
kedua shalat Jum’at, termasuk pula nikah dan akad lainnya yang membuat
lalai dan luput dari shalat Jum’at.
Bagaimana jika yang melakukan jual beli salah satunya diwajibkan shalat Jum’at dan yang lain tidak?
Dalam Al Majmu’ (4: 500), Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, salah satunya wajib
shalat Jum’at dan yang lain tidak, maka kedua-duanya terkena dosa.
Karena yang satu telah membuat orang lain lalai dari shalat dan yang
lain lalai dari shalat Jum’at itu sendiri. Namun jual beli keduanya
tidak batal. Karena larangan yang dimaksud tidak mengarah pada rusaknya
akad sehingga tetap sah. Hal ini sebagaimana jika seseorang shalat di
tanah rampasan (shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
Apakah Akadnya Sah?
Sebagaimana telah disinggung oleh Imam Nawawi di atas, jual beli yang
dilakukan setelah azan kedua shalat Jum’at tetap sah, namun berdosa.
Alasannya, karena larangan yang dimaksud bukan tertuju pada akad, namun
di luar akad, sehingga tetap sah.
Az Zamaksyari dalam Al Kassaf (7: 61) menyebutkan, “Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa jual beli (setelah azan kedua Jum’at) tidaklah
diharamkan (karena akadnya). Akad tersebut diharamkan karena dapat
melalaikan dari yang wajib. Statusnya sama dengan shalat seseorang di
tanah rampasan, dengan baju rampusan atau dengan air rampasan (artinya:
shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
2. Jual beli di lingkungan masjid
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ
أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ
ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam
masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan
keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang
mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah
kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di
dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau
pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam
Malik dalam al-Muwaththa’, 2: 244, no. 601).
Termasuk juga terlarang adalah berjualan di lingkungan masjid yang
masih masuk dalam pagar masjid. Hal ini karena para ulama telah
menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang
berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al Asybah wan Nazha-ir, 240, As
Suyuthi).
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
“Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki daerah batasan. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah” (QS. Al Maidah: 2)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ
مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ
يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ
“Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya
pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia
berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Komentar Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1269
mengenai hadits ini: Al Hafizh Ibnu Hajar keliru dalam menilai hadits
ini. Beliau tidak mengomentari hadits ini dalam At Talkhish (239) dan Al
Hafizh mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa hadits ini diriwayatkan
oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath dengan sanad yang hasan. Syaikh Al
Albani menukil perkataan Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal yang mengatakan
bahwa dia berkata pada ayahnya tentang hadits ini. Ayahnya menjawab
bahwa hadits ini dusta dan batil. Syaikh Al Albani sendiri menyimpulkan
bahwa hadits ini bathil.
Walaupun hadits ini dinilai batil oleh sebagian ulama, namun banyak
ulama yang mengambil faedah dari hadits ini karena hadits ini termasuk
dalam keumuman surat Al Maidah ayat 2 di atas.
Ash Shon'ani berkata, “Hadits ini adalah dalil mengenai haramnya
menjual anggur yang nantinya akan diolah menjai khomr karena adanya
ancaman neraka yang disebutkan dalam hadits. Kalau memang menjual anggur
pada orang lain yang diketahui akan menjadikannya khomr, maka ini
diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun jika tidak
diketahui seperti ini, Al Hadawiyah mengatakan bahwa hal ini
diperbolehkan namun dinilai makruh karena ada keragu-raguan kalau anggur
ini akan dijadikan khomr. Adapun jika sudah diketahui bahwa anggur
tersebut akan dijadikan khomr, maka haram untuk dijual karena hal ini
berarti telah saling tolong menolong dalam berbuat maksiat.
Adapun jika yang dijual adalah nyanyian, alat musik dan semacamnya,
maka tidak boleh menjual atau membelinya dan ini berdasarkan ijma’
(kesepakatan kaum muslimin). Begitu juga menjual senjata dan kuda pada
orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka ini juga tidak
diperbolehkan” (Subulus Salam, 5: 69).
Syaikh Abu Malik berkata, “Cukup dengan sangkaan kuatmu, jika orang
tersebut terlihat adalah orang yang sering membeli perasan untuk
dijadikan khomr, jadilah haram menjual barang tersebut padanya. Karena
jika kita tetap menjualnya berarti kita telah menolongnya dalam berbuat
dosa dan melanggar batasan Allah. Padahal Allah melarang bentuk tolong
menolong seperti ini. Jika orang tersebut menurut sangkaan kuat tidak
demikian, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang” (Shahih
Fiqih Sunnah, 4: 409).
Contoh jual beli yang dimaksud di sini adalah jual beli komputer,
mp3, speaker dan diketahui barang-barang tersebut asalnya digunakan
untuk yang haram seperti untuk mendengar musik atau melihat video maksiat. Namun jika tidak diketahui demikian, hukum asal jual beli tersebut adalah halal.
Segala puji bagi Allah, telah usai bahasan berbagai bentuk jual beli
yang teralarang. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita
ilmu yang bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
0 komentar:
Posting Komentar